Program Pemulihan Lahan Terbuka di Cidahu Menuai Kritik: Warga Pertanyakan Transparansi dan Keabsahan Lahan

Kuningan, Ularhideungnews.com – Program pemulihan lahan terbuka akibat pertambangan di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, yang mencakup dua desa, yakni Desa Bunder dan Desa Datar, kini mendapat sorotan tajam dari sejumlah warga setempat.

Program yang diajukan melalui proposal kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu dipertanyakan oleh warga terkait proses perencanaan, keabsahan lahan, dan minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Beberapa warga yang enggan disebutkan namanya menyampaikan kepada media ini, Senin (30/09/24), bahwa terdapat ketidaksesuaian antara perencanaan program dengan proposal yang diajukan.

Salah satu hal yang menjadi fokus perhatian warga adalah mengenai luas tanah bengkok desa yang diklaim mencapai 6 hektar dalam proposal tersebut.

Menurut informasi yang dihimpun dari warga, tanah bengkok desa di lokasi dua desa tersebut ( Desa bunder dan Desa Datar) sebenarnya hanya memiliki luas sekitar 4,3 hektar, sementara selebihnya adalah tanah milik warga.u

“Kami tahu tanah bengkok yang ada dari dua desa, desa Bunder dan Desa Datar hanya ada sekitar 4,3 hektar. Sisanya adalah tanah milik warga. Kenapa dalam proposal disebutkan 6 hektar? Ini yang membuat kami curiga ada sesuatu yang tidak beres,” ujar salah satu warga.

Tidak hanya mengenai luas lahan, warga juga mempertanyakan prosedur pengajuan program yang dianggap kurang transparan. Menurut mereka, sejak awal pengajuan proposal, warga tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah oleh pemerintah desa. Padahal, lahan yang dikelola merupakan tanah bengkok desa yang seharusnya menjadi milik bersama warga.

“Dari awal, kami tidak pernah diajak musyawarah oleh pemerintah desa. Tiba-tiba saja sudah ada kegiatan di lapangan, bahkan sudah ada pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Datar Mandiri, tanpa sepengetahuan kami sebagai masyarakat,” ungkap warga lainnya dengan nada kecewa.

Pembentukan KSM Datar Mandiri secara diam-diam ini juga menjadi sorotan. Warga menilai bahwa pengelolaan tanah bengkok desa seharusnya dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat desa.

“Kenapa pembentukan KSM dilakukan diam-diam? Kami tidak tahu siapa saja yang terlibat dan bagaimana proses pemilihannya. Padahal ini tanah bengkok desa, bukan tanah pribadi,” tambahnya.

Selain itu, warga mencurigai adanya rekayasa dalam penyediaan lahan sebagai syarat dari Kementerian KLHK yang mengharuskan adanya lahan seluas 6 hektar untuk pelaksanaan program tersebut.

“Kami menduga ada rekayasa terkait data lahan yang diajukan ke kementerian. Bagaimana mungkin diklaim ada 6 hektar lahan siap pakai, padahal yang kami tahu luasnya hanya 4,3 hektar. Kami khawatir ada upaya pemalsuan dokumen seperti SPPT,” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Menurut warga hingga saat ini, masih ada sekitar 2 hektar lahan yang belum digarap karena merupakan tanah milik warga. Warga khawatir jika penggarapan tetap dilanjutkan tanpa persetujuan, hal ini akan menimbulkan konflik. “Kalau lahan kami diambil tanpa izin, pasti kami akan bereaksi. Tidak mungkin kami diam saja jika tanah kami diambil orang lain,” tegas warga tersebut. ( GTR )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *