Kuningan, Ularhideungnews.com — Pendapatan pajak daerah Kabupaten Kuningan pada Tahun Anggaran (TA) 2023 tercatat mencapai sekitar Rp.122,6 miliar, atau 90,39% dari target anggaran sebesar Rp.135,6 miliar.
Meskipun angka ini menunjukkan pencapaian yang cukup baik, sejumlah masalah dalam pengelolaan pajak daerah yang diungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI memperlihatkan ketidakoptimalan yang berpotensi merugikan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berdasarkan LRA TA 2023, pajak daerah yang dikelola oleh Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kabupaten Kuningan terdiri dari berbagai jenis pajak, seperti pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, dan lainnya.
Namun, laporan BPK RI mengungkap sejumlah kekurangan yang signifikan, mulai dari kurangnya pemanfaatan perangkat pengawasan hingga ketidaksesuaian data pajak.
Salah satu masalah yang disoroti adalah sistem tapping box yang dipasang untuk memantau transaksi pajak secara online. Meski telah dipasang pada 61 Wajib Pajak (WP), 40 di antaranya tidak memfungsikan perangkat ini sepanjang tahun 2023.
Selain itu, enam unit tapping box bahkan masih terpasang pada WP yang sudah tutup permanen. Hingga kini, Bappenda belum menarik alat tersebut.
Masalah serupa juga terjadi pada pajak hotel. Hotel PM, yang melaporkan transaksi sebesar Rp.191,1 juta pada Desember 2023, hanya membayar pajak sebesar Rp.6,08 juta. Padahal, sesuai aturan, pajak yang seharusnya dibayarkan adalah Rp.19,1 juta. Selisih pembayaran ini mencapai Rp.13,03 juta, menimbulkan potensi kerugian bagi daerah.
Pada pajak restoran, perbandingan data tapping box dengan pembayaran WP menunjukkan selisih hingga Rp.412 juta. Hal ini disebabkan oleh belum adanya petugas khusus yang memantau data transaksi dari tapping box.
Akibatnya, data yang tersedia belum digunakan secara optimal dalam proses pemungutan pajak.
Masalah lain ditemukan pada Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Sebanyak 532 Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) mencantumkan luas objek pajak bumi yang lebih kecil dibandingkan data transaksi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Selain itu, hampir 3.000 SPPT memiliki identitas WP yang tidak sesuai dengan data transaksi BPHTB, mencerminkan kurangnya pembaruan data di sistem manajemen informasi pajak.
LHP BPK RI menyebutkan bahwa kelemahan pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap aturan menjadi faktor utama penyebab berbagai permasalahan ini.
Ketidakoptimalan pengelolaan pajak daerah tidak hanya berpotensi mengurangi PAD tetapi juga mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan oleh Bappenda.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Bappenda terkait temuan-temuan yang disampaikan dalam LHP BPK RI. (Red)